KONDISI PENDANAAN OLAHRAGA TANAH AIR

penjastar

Olahraga Indonesia memang tengah berada di titik nadir. Terpuruknya peringkat Indonesia di Asian Games 2014 hingga kegagalan masuk dalam tiga besar dalam ajang SEA Games 2005 di Filipina (sejak keikutsertaan di tahun 1977) menunjukkan secara nyata betapa tidak seriusnya bangsa ini membangun diri lewat olahraga. Prestasi olahraga suatu bangsa sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari kinerja bangsa itu sendiri yang dihubungkan dengan kondisi sosial politik, termasuk kebijakan makro ekonomi-politik yang dipilih pemerintahnya.

Ketiadaan dana selalu menjadi kesimpulan utama saat membedah menurunnya prestasi olahraga Indonesia. Pengurus olahraga sering mengaku pusing tujuh keliling karena ketiadaan dana untuk pembinaan atlet, menggelar kejuaraan, atau memberikan jam terbang bertanding bagi para atlet. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia ternyata juga berdampak pada pengucuran dana pemerintah bagi olahraga. Maka secara partisan, masing-masing pengurus induk organisasi berusaha mencari dana sendiri-sendiri. Kedekatan dengan pengusaha atau perusahaan tertentu menjadi model pencarian dana yang paling populer dan paling sering dilakukan. Jadilah olahraga Indonesia sepertinya berjalan sendiri-sendiri tergantung dari karakter pengurus induk organisasi.

Model mencari dana lewat donatur dan kucuran pemerintah tak bisa lagi diandalkan. Apakah sumber-sumber dana yang bisa dimanfaatkan dunia olahraga benar-benar kering? Tidak juga. Simaklah data Nielsen Media Research – Advertising Information Services: Jumlah belanja iklan pada tahun 2004 mencapai Rp 23,892 triliun. Produk perlengkapan komunikasi dan servis mengeluarkan dana terbesar Rp 1,2 triliun diikuti rokok Rp 1,167 triliun, dan produk perawatan rambut Rp 1,164 triliun. Lalu, mengapa dana yang begitu banyak tidak masuk ke olahraga?

Sebagai pembanding, anggaran KONI Pusat untuk olahraga tahun 2006 sebesar Rp 156 miliar yang kabarnya sempat hendak dipotong oleh DPR dan Pemerintah sebesar Rp 56 miliar. Uang iklan memang jumlahnya besar namun oleh si pemilik harus dibelanjakan dengan efisien. Jangan berharap ada pengiklan yang mau membelanjakan anggaran iklan untuk donasi atau atas dasar belas kasihan. Semua pengiklan telah memiliki ukuran-ukuran baku untuk melakukan sponsorship, termasuk pada olahraga. Misalnya apakah brand cocok dengan cabang atau ajang olahraga tertentu (asosiasi brand). Juga apakah penonton yang datang besar dan sudah sesuai dengan positioning produk. Dari dua tolok ukur itu, kenyataannya banyak cabang olahraga yang tidak mampu menarik minat sponsor.

Cabang atletik dan renang misalnya. Dua cabang yang sangat laris di event Olimpiade itu justru kosong melompong saat digelar di Indonesia. Arena yang kosong jelas tak mengundang minat sponsor untuk memasarkan produk mereka. Televisi pun enggan datang sebab akan kesulitan menjual slot iklan yang disiapkan dalam paket yang akan mereka jual kepada sponsor. Problem ini adalah salah satu kendala pemasaran olahraga di Indonesia. Bagaimana bisa meyakinkan para sponsor jika mengumpulkan penonton saja tidak bisa? Tidak berhasilnya olahraga menyedot dana adalah minimnya kemampuan pemasaran para pengurus olahraga yang bersangkutan. Olahraga menjadi tidak menarik karena kualitas prestasi buruk, penyelenggara tidak mampu membuat kiat-kiat pemasaran, dan memasukkan unsur hiburan yang akan mengundang daya tarik masyarakat untuk menontonnya. Buruknya kualitas prasarana olahraga juga menjadi kendala. Misalnya, kondisi lapangan rumput stadion sepakbola, permukaan lapangan basket bukan kayu, penerangan, kenyamanan penonton, WC dan kamar ganti, lampu, dll. Pencahayaan lampu adalah bagian dari kemasan untuk menjual olahraga. Bagaimana bisa mendapatkan kesan cemerlang terhadap olahraga bisa cahaya lampu redup sehingga televisi maupun fotografer sangat kesulitan mengambil gambar untuk dipublikasikan di media masing-masing?

Profesionalisme pengelolaan organisasi olahraga juga menjadi tolok ukur penilaian para sponsor. Perencanaan sasaran pun harus jelas dan meyakinkan. Sebab dengan perencanaan yang jelas dan meyakinkan, para pelaku yang menjadi subjek dalam olahraga akan dengan total melaksanakan fungsinya. Janganlah seperti sekarang dimana profesi sebagai seorang atlet bukanlah sebagai pekerjaan yang favorit.

Tinggalkan komentar